Tinjauan Teori
Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) Terhadap Kondisi Demokrasi di Indonesia.
Dalam pandangan
dunia, Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi terbesar ketiga yang setelah
Amerika dan India. Bahkan menurut Direktur Eksekutif Institute for Peace and Democracy (IPD)
mengatakan bahwa pengalaman Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga
di dunia dan berpenduduk mayoritas muslim, dapat menjadi model bagi berbagai
negara yang saat ini sedang menghadapi transisi seperti di Afrika Utara.
Demokrasi di
Indonesia sendiri tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Kedaulatan
atau kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD”
.
Secara umum Istilah
"demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara
tersebut dianggap sebagai contoh awal dari sebuah sistem yang berhubungan dengan
hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah
sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad
ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi"di banyak
negara.Kata "demokrasi" berasal
dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dankratos/cratein yang
berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat,
atau yang lebih kita kenal
sebagai pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi
menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini
disebabkan karena demokrasi
saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu
negara.Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan
dalam suatu negara umumnya
berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga
harus digunakan untuk kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting
untuk diperhitungkan ketika
fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk
masyarakat yang adil dan beradab,bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali
menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Demikian pula
kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan
berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan
tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidakakan
membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja
harus akuntabel (accountable), tetapiharus ada mekanisme formal
yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini
mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga
negara tersebut.
Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh
Aristoteles
sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa
kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham
Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi
sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".
Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat
dan rakyat mempunyai hak,
kesempatan dan suara
yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi,
keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem
pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin
menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut
satu pihak melalui tirani,
kediktatoran
dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.Demokrasi memberikan
kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum
semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja.
Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang
Athena tidak memiliki hak untuk itu.
Kondisi umum,
sistem pemerintahan Negara yang sangat popular kini adalah monarki
konstitusional, teokrasi (kedaulatan Tuhan) dan demokrasi. Negara-negara
kerajaan seperti Malaysia, Jepang, dan Inggris merupakan contoh Negara monarki
konstitusional. Beberapa kerajaan di daerah Timur Tengah seperti Arab Saudi dan
Iran termasuk Negara penganut sistem teokrasi. Yang terbanyak dianut sekarang
ini adalah sistem demokrasi, walaupun masih sebatas dalam ungkapan resmi saja.
Lalu, Bagaimana prakteknya
demokrasi di Indonesia? Sejak merdeka, Indonesia mengklaim dirinya bukan
sebagai negara monarkhi, baik monarki absolut maupun monarkhi konstitusional,
karena tidak mengenal raja sebagai pemimpin negara tertinggi di negeri ini.
Kita juga menolak disebut sebagai negara teokrasi, karena tidak ada pengakuan
secara tersurat bahwa kita mengakui kepemimpinan berdasarkan aturan agama
apapun. Kita dengan tegas selalu menempatkan diri dalam kelompok negara dengan
sistim pemerintahan demokrasi. Namun, benarkah demikian? Sudahkah negara ini
menjalankan sistim pemerintahan demokrasi yang sesungguhnya? Berikut ini adalah
analisa umum tentang sistim pemerintahan Indonesia dalam prakteknya.
Untuk
menganalisa realitas sistim pemerintahan Indonesia, sebaiknya kita tinjau
sekilas pengertian dan unsur-unsur penunjang dari sistim teokrasi dan
demokrasi. Istilah teokrasi diserap dari bahasa Yunani, theos (tuhan) dan
kratein (memerintah), yang terjemahan bebasnya: pemerintahan tuhan. Kata
demokrasi juga dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratein, dan diartikan sebagai
: pemerintahan rakyat.
Dalam kedaulatan tuhan menyatakan bahwa
kekuasaan tinggi dalam suatu negara hanya satu, yaitu Tuhan. Oleh sebab itu
negara dan pemerintah negara harus
mewakili Tuhan di
dalam menjalankan hukum Tuhan di dunia dan dalam sistim pemerintahan tuhan,
negara teokrasi dipimpin oleh seseorang atau sekelompok orang dari golongan
pemimpin agama (clergy) dan menjalankan ketentuan agama yang diakui negara
dalam pemerintahannya. Pada beberapa negara tertentu, pemimpin negara ini malah
dianggap sebagai wakil tuhan atau bahkan terkadang jelmaan tuhan. Konsekwensinya,
pemimpin negara adalah dari kalangan agamawan. Ketentuan yang dijalankan adalah
amanah tuhan yang tersurat dalam kitab suci dan diperuntukan untuk rakyat.
Sehingga rakyat tidak lebih sebagai kelompok penderita dan menerima apa adanya
segala ketentuan dan kebijakan dalam negara. Karena undang-undangnya dari
tuhan, maka sudah sewajarnya bila peraturan-peraturannya ditujukan hanya untuk
kalangan warga negara yang percaya pada kitab suci agama tersebut.
Sebaliknya,
dalam negara demokrasi dengan slogan: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, segalanya ditentukan oleh rakyat. Pimpinan dipilih dari antara
rakyatnya, pemilihan dilakukan oleh rakyat, dan dia mengabdi untuk rakyat.
Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah mempedomani ketentuan-ketentuan yang
dibuat oleh rakyatnya dan ia akan dinilai serta dimintai pertanggungjawaban
oleh rakyat menggunakan ukuran yang dibuat oleh rakyat itu sendiri. Pemimpin
bisa bergantian dengan anggota masyarakat yang lainnya sesuai mekanisme yang
dibuat oleh rakyat tanpa diskriminasi agama, jenis kelamin, dan lain-lain.
Setiap individu dalam masyarakat memiliki hak yang sama secara individual dan
dihormati oleh negara tanpa kecuali. Tidak terdapat pembedaan dalam
mengakomodasi kebutuhan rakyatnya, tidak perlu mayoritas-minoritas,
besar-kecil, kelas atas – kelas bawah, dan sebagainya.
Dari penjelasan
istilah teokrasi dan demokrasi di atas, secara singkat kita dapat menentukan
beberapa unsur utama dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dari dua sistim
tersebut. Setidaknya ada tiga unsur yang dapat dikemukakan di sini, yaitu
faktor penguasa, ketentuan perundangan, dan sasaran pemerintahan. Pada negara
teokrasi, penguasa negara lebih dominan
ditentukan oleh pengaruh keagamaan tertentu, sedangkan pada sistim demokrasi
lebih ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk memikul tanggung jawab memenuhi
keinginan rakyatnya.
Peraturan perundangan dan kebijakan pemerintahan negara teokrasi berdasarkan kitab suci, sebaliknya pada negara demokrasi, undang-undang adalah cerminan aspirasi seluruh rakyatnya. Sasaran implementasi pemerintahan negara teokrasi dan demokrasi adalah sama yakni rakyat. Perbedaanya, di negara teokrasi yang dianggap rakyat adalah mereka yang secara sadar tunduk dan taat pada ketentuan hukum kitab suci agama yang dianut negara, sedangkan pada negara demokrasi hal itu tidak dikenal.
Peraturan perundangan dan kebijakan pemerintahan negara teokrasi berdasarkan kitab suci, sebaliknya pada negara demokrasi, undang-undang adalah cerminan aspirasi seluruh rakyatnya. Sasaran implementasi pemerintahan negara teokrasi dan demokrasi adalah sama yakni rakyat. Perbedaanya, di negara teokrasi yang dianggap rakyat adalah mereka yang secara sadar tunduk dan taat pada ketentuan hukum kitab suci agama yang dianut negara, sedangkan pada negara demokrasi hal itu tidak dikenal.
Kenyataanya di
Indonesia, pemilihan kepemimpinan negara masih didominasi oleh pengaruh
kelompok keagamaan. Bahkan secara sadar atau tidak, kita sering terjebak pada
ketentuan agama tertentu untuk menentukan memenuhi syarat atau tidaknya seorang
calon pemimpin, seperti yang dialami
oleh mantan presiden Megawati dengan polemik wanita tidak boleh menjadi
pemimpin dalam agama Islam. Secara tersirat, ketentuan bahwa calon presiden RI harus beragama Islam juga
sangat kental, tapi tidak disuarakan. Ada keyakinan bahwa bila saja terdapat kandidat
presiden non-muslim hal ini akan menjadi perbincangan hangat tentang sah
tidaknya sang calon karena agamanya. Argumen yang mungkin mengemuka: wajarkah
kaum muslimin dipimpin oleh non-muslim? Sama persis seperti, mungkinkah seorang
non-muslim menduduki jabatan menteri agama Indonesia? Realitas ini menunjukkan
bahwa Indonesia cenderung menganut sistim teokrasi.
Sebagian besar
produk hukum dan kebijakan negara, baik ditingkat nasional maupun daerah, juga
merupakan bukti implementasi sistim teokrasi. Sebut saja yang paling jelas
terang benderang: syariat Islam dengan beragam bentuk dan wujudnya.
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 17
tahun 1999 tentang urusan haji, yang justru merupakan “keinginan tuhan” yang
tertuang dalam kitab suci agama Islam.
Perda-perda juga tidak luput dari distorsi “menjalankan perintah tuhan”, seperti peraturan hukum cambuk di Aceh dan perda larangan keluar malam di Tangerang. Yang paling aktual dan santer diperdebatkan saat ini, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang jelas-jelas hanya mengakomodasi ketentuan tuhan dalam agama Islam merupakan calon UU penambah deretan ketentuan hukum negara teokrasi.
Perda-perda juga tidak luput dari distorsi “menjalankan perintah tuhan”, seperti peraturan hukum cambuk di Aceh dan perda larangan keluar malam di Tangerang. Yang paling aktual dan santer diperdebatkan saat ini, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang jelas-jelas hanya mengakomodasi ketentuan tuhan dalam agama Islam merupakan calon UU penambah deretan ketentuan hukum negara teokrasi.
Dalam percakapan
sehari-hari, baik resmi kenegaraan maupun tidak resmi, terdapat banyak sekali
ikon dan ungkapan “hukum tuhan” yang digunakan pemerintah dan politisi. Sebut
saja “Indonesia sebagai negara agamis”, atau yang lebih spesifik “daerah A
identik dengan Islamnya”, “Kota B adalah kota Beriman” (kota lainnya tidak
beriman?), dan lain-lain. Simbol-simbol keagamaan juga sangat kental dalam
koridor pemerintahan kita. Juga, pada setiap UU, PP, Kepres, dan seterusnya
pasti terdapat kalimat ini: “Dengan Rahmat Tuhan Yang maha Esa” pada awal
konsiderannya.
Contoh-contoh
tersebut sesungguhnya merupakan perlambangan Indonesia yang ingin mengatakan
bahwa kita berdiri sebagai suatu negara dan menjalankan pemerintahan kenegaraan
dengan fungsi utama untuk menjalankan pemerintahan tuhan di nusantara, sehingga
semua ketentuan-ketentuan yang ada harus mengakomodasi keinginan tuhan. Dan
pada kenyataannya yang dapat menjadi beda pemahaman, keinginan tuhan yang
dituangkan dalam buku suci agama tertentu saja yang dijadikan pedoman, kitab
suci agama lain dianggap tidak ada.
Keadaan ini
dinilai banyak kalangan lebih diakibatkan oleh sistim perpolitikan kita yang
amat kental dipengaruhi kaum elit agama tertentu. Kelompok ini dapat dianggap
sebagai perwujudan “utusan tuhan” sehingga seakan memiliki legitimasi untuk
mendiktekan “pesan tuhan” kepada pemerintah dan masyarakat, semisal melalui
fatwa, doktrin, somasi, dan lain-lain. Tentu disertai bumbu penutup: bila pesan
tuhan ini diabaikan, kesengsaraan dan kutuk dari langit akan menimpa bangsa
ini.
Oleh sebab itu
dapat dikatakan bahwa demokrasi kita sesungguhnya baru pada tahap demokrasi
“kulit luar”, belum menerapkan „nurani demokrasi“ yang sesungguhnya, yang
melihat esensi warga negara sebagai individu yang perlu diperhatikan,
dilindungi dan diakomodasi kepentingan hidupnya sebagai individu oleh negara.
Yang sudah kita lakukan masih sebatas pada pemaknaan demokrasi sebagai multi
partai, suara mayoritas, dan kepentingan mayoritas.
Keadaan tersebut
dapat saja berdampak positif dan baik. Namun dilemanya, struktur sosial dan
politik masyarakat kita yang masih dominan dikungkung oleh ketentuan dogmatis
keagamaan tertentu, mengalahkan akal sehat untuk menciptakan kemaslahatan dan
kesejahteraan bersama dalam pluralitas. Akibatnya, pola pemerintahan negara
yang tercipta mengikuti trend ketentuan dogma agama tertentu.
Dengan demikian
dapat pula disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara teokrasi berbungkus kulit
demokrasi, negara pelaksana ketentuan tuhan yang cenderung mengingkari
pluralisme rakyatnya. Kenyataan ini tentu saja merupakan pengingkaran sejarah
pembentukan negara pada awalnya karena Indonesia hakekatnya
dibentuk atas dasar kesepakatan bersama (kontrak sosial) rakyat Indonesia dari
Sabang sampai Merauke melalui wakil-wakilnya, para pejuang kemerdekaan waktu
itu. Kontrak sosial tersebut, sebagai dasar kehidupan berdemokrasi suatu negara, telah berubah pemikiran dan
prakteknya menjadi “pesan-pesan tuhan” dari kelompok agama tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar