Rabu, 14 Maret 2012

Artikel Hukum


Tinjauan Teori Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) Terhadap Kondisi Demokrasi di Indonesia.
Dalam pandangan dunia, Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi terbesar ketiga yang setelah Amerika dan India. Bahkan menurut Direktur Eksekutif  Institute for Peace and Democracy (IPD) mengatakan bahwa pengalaman Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia dan berpenduduk mayoritas muslim, dapat menjadi model bagi berbagai negara yang saat ini sedang menghadapi transisi seperti di Afrika Utara.
Demokrasi di Indonesia sendiri tercantum dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan “Kedaulatan atau kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD” .

Secara umum Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang tepatnya diutarakan di   Athena kuno pada abad ke-5 SM. Negara tersebut dianggap sebagai contoh awal dari         sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi"di banyak negara.Kata "demokrasi"  berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dankratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita     kenal sebagai pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini disebabkan             karena demokrasi saat ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam       suatu negara umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica dengan kekuasaan      negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan  dan kemakmuran rakyat. Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk diperhitungkan        ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah (eksekutif) yang begitu besar    ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab,bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia. Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidakakan membawa kebaikan untuk rakyat. Intinya, setiap lembaga negara bukan saja harus akuntabel (accountable), tetapiharus ada mekanisme formal yang mewujudkan akuntabilitas dari setiap lembaga negara dan mekanisme ini mampu secara operasional (bukan hanya secara teori) membatasi kekuasaan lembaga  negara tersebut.
Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Hal ini berarti kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur kebijakan pemerintahan. Melalui demokrasi, keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak.
Demokrasi terbentuk menjadi suatu sistem pemerintahan sebagai respon kepada masyarakat umum di Athena yang ingin menyuarakan pendapat mereka. Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.Demokrasi memberikan kebebasan berpendapat bagi rakyat, namun pada masa awal terbentuknya belum semua orang dapat mengemukakan pendapat mereka melainkan hanya laki-laki saja. Sementara itu, wanita, budak, orang asing dan penduduk yang orang tuanya bukan orang Athena tidak memiliki hak untuk itu.
Kondisi umum, sistem pemerintahan Negara yang sangat popular kini adalah monarki konstitusional, teokrasi (kedaulatan Tuhan) dan demokrasi. Negara-negara kerajaan seperti Malaysia, Jepang, dan Inggris merupakan contoh Negara monarki konstitusional. Beberapa kerajaan di daerah Timur Tengah seperti Arab Saudi dan Iran termasuk Negara penganut sistem teokrasi. Yang terbanyak dianut sekarang ini adalah sistem demokrasi, walaupun masih sebatas dalam ungkapan resmi saja.
Lalu, Bagaimana prakteknya demokrasi di Indonesia? Sejak merdeka, Indonesia mengklaim dirinya bukan sebagai negara monarkhi, baik monarki absolut maupun monarkhi konstitusional, karena tidak mengenal raja sebagai pemimpin negara tertinggi di negeri ini. Kita juga menolak disebut sebagai negara teokrasi, karena tidak ada pengakuan secara tersurat bahwa kita mengakui kepemimpinan berdasarkan aturan agama apapun. Kita dengan tegas selalu menempatkan diri dalam kelompok negara dengan sistim pemerintahan demokrasi. Namun, benarkah demikian? Sudahkah negara ini menjalankan sistim pemerintahan demokrasi yang sesungguhnya? Berikut ini adalah analisa umum tentang sistim pemerintahan Indonesia dalam prakteknya.
Untuk menganalisa realitas sistim pemerintahan Indonesia, sebaiknya kita tinjau sekilas pengertian dan unsur-unsur penunjang dari sistim teokrasi dan demokrasi. Istilah teokrasi diserap dari bahasa Yunani, theos (tuhan) dan kratein (memerintah), yang terjemahan bebasnya: pemerintahan tuhan. Kata demokrasi juga dari bahasa Yunani, demos (rakyat) dan kratein, dan diartikan sebagai : pemerintahan rakyat.
Dalam kedaulatan tuhan menyatakan bahwa kekuasaan tinggi dalam suatu negara hanya satu, yaitu Tuhan. Oleh sebab itu negara dan pemerintah negara harus mewakili Tuhan di dalam menjalankan hukum Tuhan di dunia dan dalam sistim pemerintahan tuhan, negara teokrasi dipimpin oleh seseorang atau sekelompok orang dari golongan pemimpin agama (clergy) dan menjalankan ketentuan agama yang diakui negara dalam pemerintahannya. Pada beberapa negara tertentu, pemimpin negara ini malah dianggap sebagai wakil tuhan atau bahkan  terkadang jelmaan tuhan. Konsekwensinya, pemimpin negara adalah dari  kalangan    agamawan. Ketentuan yang dijalankan adalah amanah tuhan yang tersurat dalam kitab suci dan diperuntukan untuk rakyat. Sehingga rakyat tidak lebih sebagai kelompok penderita dan menerima apa adanya segala ketentuan dan kebijakan dalam negara. Karena undang-undangnya dari tuhan, maka sudah sewajarnya bila peraturan-peraturannya ditujukan hanya untuk kalangan warga negara yang percaya pada kitab suci agama tersebut.
Sebaliknya, dalam negara demokrasi dengan slogan: dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, segalanya ditentukan oleh rakyat. Pimpinan dipilih dari antara rakyatnya, pemilihan dilakukan oleh rakyat, dan dia mengabdi untuk rakyat. Dalam menjalankan tugasnya, pemerintah mempedomani ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh rakyatnya dan ia akan dinilai serta dimintai pertanggungjawaban oleh rakyat menggunakan ukuran yang dibuat oleh rakyat itu sendiri. Pemimpin bisa bergantian dengan anggota masyarakat yang lainnya sesuai mekanisme yang dibuat oleh rakyat tanpa diskriminasi agama, jenis kelamin, dan lain-lain. Setiap individu dalam masyarakat memiliki hak yang sama secara individual dan dihormati oleh negara tanpa kecuali. Tidak terdapat pembedaan dalam mengakomodasi kebutuhan rakyatnya, tidak perlu mayoritas-minoritas, besar-kecil, kelas atas – kelas bawah, dan sebagainya.
Dari penjelasan istilah teokrasi dan demokrasi di atas, secara singkat kita dapat menentukan beberapa unsur utama dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dari dua sistim tersebut. Setidaknya ada tiga unsur yang dapat dikemukakan di sini, yaitu faktor penguasa, ketentuan perundangan, dan sasaran pemerintahan. Pada negara teokrasi, penguasa negara lebih      dominan ditentukan oleh pengaruh keagamaan tertentu, sedangkan pada sistim demokrasi lebih ditentukan oleh kemampuan seseorang untuk memikul tanggung jawab memenuhi keinginan rakyatnya.

Peraturan perundangan dan kebijakan pemerintahan negara teokrasi berdasarkan kitab suci, sebaliknya pada negara demokrasi, undang-undang adalah cerminan aspirasi seluruh rakyatnya. Sasaran implementasi pemerintahan negara teokrasi dan demokrasi adalah sama yakni rakyat. Perbedaanya, di negara teokrasi yang dianggap rakyat adalah mereka yang secara sadar tunduk dan taat pada ketentuan hukum kitab suci agama yang dianut negara, sedangkan pada negara demokrasi hal itu tidak dikenal.
Kenyataanya di Indonesia, pemilihan kepemimpinan negara masih didominasi oleh pengaruh kelompok keagamaan. Bahkan secara sadar atau tidak, kita sering terjebak pada ketentuan agama tertentu untuk menentukan memenuhi syarat atau tidaknya seorang calon pemimpin, seperti  yang dialami oleh mantan presiden Megawati dengan polemik wanita tidak boleh menjadi pemimpin dalam agama Islam. Secara tersirat, ketentuan bahwa calon presiden RI                 harus beragama Islam juga sangat kental, tapi tidak disuarakan. Ada keyakinan bahwa bila saja terdapat kandidat presiden non-muslim hal ini akan menjadi perbincangan hangat tentang sah tidaknya sang calon karena agamanya. Argumen yang mungkin mengemuka: wajarkah kaum muslimin dipimpin oleh non-muslim? Sama persis seperti, mungkinkah seorang non-muslim menduduki jabatan menteri agama Indonesia? Realitas ini menunjukkan bahwa Indonesia cenderung menganut sistim teokrasi.
Sebagian besar produk hukum dan kebijakan negara, baik ditingkat nasional maupun daerah, juga merupakan bukti implementasi sistim teokrasi. Sebut saja yang paling jelas terang benderang: syariat Islam dengan beragam bentuk dan wujudnya. Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Undang-undang Nomor 17 tahun 1999 tentang urusan haji, yang justru merupakan “keinginan tuhan” yang tertuang dalam kitab suci agama Islam.

Perda-perda juga tidak luput dari distorsi “menjalankan perintah tuhan”, seperti peraturan hukum cambuk di Aceh dan perda larangan keluar malam di Tangerang. Yang paling aktual dan santer diperdebatkan saat ini, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang jelas-jelas hanya mengakomodasi ketentuan tuhan dalam agama Islam merupakan calon UU penambah deretan ketentuan hukum negara teokrasi.
Dalam percakapan sehari-hari, baik resmi kenegaraan maupun tidak resmi, terdapat banyak sekali ikon dan ungkapan “hukum tuhan” yang digunakan pemerintah dan politisi. Sebut saja “Indonesia sebagai negara agamis”, atau yang lebih spesifik “daerah A identik dengan Islamnya”, “Kota B adalah kota Beriman” (kota lainnya tidak beriman?), dan lain-lain. Simbol-simbol keagamaan juga sangat kental dalam koridor pemerintahan kita. Juga, pada setiap UU, PP, Kepres, dan seterusnya pasti terdapat kalimat ini: “Dengan Rahmat Tuhan Yang maha Esa” pada awal konsiderannya.
Contoh-contoh tersebut sesungguhnya merupakan perlambangan Indonesia yang ingin mengatakan bahwa kita berdiri sebagai suatu negara dan menjalankan pemerintahan kenegaraan dengan fungsi utama untuk menjalankan pemerintahan tuhan di nusantara, sehingga semua ketentuan-ketentuan yang ada harus mengakomodasi keinginan tuhan. Dan pada kenyataannya yang dapat menjadi beda pemahaman, keinginan tuhan yang dituangkan dalam buku suci agama tertentu saja yang dijadikan pedoman, kitab suci agama lain dianggap tidak ada.
Keadaan ini dinilai banyak kalangan lebih diakibatkan oleh sistim perpolitikan kita yang amat kental dipengaruhi kaum elit agama tertentu. Kelompok ini dapat dianggap sebagai perwujudan “utusan tuhan” sehingga seakan memiliki legitimasi untuk mendiktekan “pesan tuhan” kepada pemerintah dan masyarakat, semisal melalui fatwa, doktrin, somasi, dan lain-lain. Tentu disertai bumbu penutup: bila pesan tuhan ini diabaikan, kesengsaraan dan kutuk dari langit akan menimpa bangsa ini.
Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa demokrasi kita sesungguhnya baru pada tahap demokrasi “kulit luar”, belum menerapkan „nurani demokrasi“ yang sesungguhnya, yang melihat esensi warga negara sebagai individu yang perlu diperhatikan, dilindungi dan diakomodasi kepentingan hidupnya sebagai individu oleh negara. Yang sudah kita lakukan masih sebatas pada pemaknaan demokrasi sebagai multi partai, suara mayoritas, dan kepentingan mayoritas.
Keadaan tersebut dapat saja berdampak positif dan baik. Namun dilemanya, struktur sosial dan politik masyarakat kita yang masih dominan dikungkung oleh ketentuan dogmatis keagamaan tertentu, mengalahkan akal sehat untuk menciptakan kemaslahatan dan kesejahteraan bersama dalam pluralitas. Akibatnya, pola pemerintahan negara yang tercipta mengikuti trend ketentuan dogma agama tertentu.
Dengan demikian dapat pula disimpulkan bahwa Indonesia adalah negara teokrasi berbungkus kulit demokrasi, negara pelaksana ketentuan tuhan yang cenderung mengingkari pluralisme rakyatnya. Kenyataan ini tentu saja merupakan pengingkaran sejarah pembentukan negara      pada awalnya karena Indonesia hakekatnya dibentuk atas dasar kesepakatan bersama (kontrak sosial) rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke melalui wakil-wakilnya, para pejuang kemerdekaan waktu itu. Kontrak sosial tersebut, sebagai dasar kehidupan berdemokrasi        suatu negara, telah berubah pemikiran dan prakteknya menjadi “pesan-pesan tuhan” dari kelompok agama tertentu.

Tidak ada komentar: